top of page

MENCERITAKAN BRAND

  • Writer: Chico Hindarto
    Chico Hindarto
  • Jun 22, 2020
  • 2 min read

Updated: Jun 30, 2020

Minggu lalu saya berkesempatan melakukan pertemuan virtual dengan teman-teman yang berencana untuk membangun brand. Barang yang akan dibuat diproduksi secara massal. Hal yang kita bahas bukan lagi mengenai barang yang diproduksi, karena disadari bahwa fungsi produk sudah standar, tidak bisa menjadi keunggulan lagi.




Saya dan teman-teman sepakat untuk mulai dari inti makna brand yang kita bangun, dan kesesuaiannya dengan pasar yang kita tuju. Kita memunculkan persona yang mewakili pengguna brand ini sebagai gambaran yang lebih riil. Kita lanjutkan dengan cerita apa yang akan kita sebarkan ke umum mengenai brand ini. Cerita adalah nyawa yang harus punya masa berlaku secara jangka panjang, meskipun dalam jangka yang lebih pendek akan dibuat episode-episode yang mendekatkan target pasar kepada brand. Cerita yang akan dibangun adalah cerita yang relevan, realistis, esensial, dan mengikat pelanggan secara emosional. Banyak sudah brand yang berhasil untuk menggunakan cerita dan persona sebagai personifikasi brand. Perlu untuk produk yang datang belakangan membuat cerita-cerita yang menarik dalam membangun brand mereka. Beberapa cara bisa dilakukan untuk mengembangkan cerita, seperti: cerita yang lebih spesifik, mengedepankan drama, dan memperkuat kedekatan identitas brand dengan target konsumen.

Cerita brand yang kita bangun menggunakan dua pendekatan, yaitu slice of life atau keseharian; dan budaya popular. Kita mempertimbangkan potensi pasar yang besar, tidak mengarah pada pasar yang sempit, atau disebut sebagai niche market. Tentunya arah cerita akan berbeda jika kita menuju pasar ini. Keseharian kita kedepankan karena target pasar kita adalah orang umum yang bisa kita jumpai di kehidupan rutin. Tapi, ada sesuatu hal yang kita tambahkan sebagai muatan cerita guna memberikan efek drama di dalam keseharian tersebut. Kita memastikan tidak akan timbul efek pengabaian karena ini adalah kejadian sehari-hari. Cerita yang kita bangun harus menarik minat secara berulang-ulang.


Nyawa brand sudah tidak lagi di fitur produk dan desain saja. Tugas brand bukan lagi pasif, tetapi menjadi aktif sebagai "pendamping" konsumen. Posisinya bisa menjadi bagian kehidupan konsumen, bahkan pada prakteknya sudah menjadi bagian dari identitas konsumen.

Pendekatan kedua adalah menggunakan budaya populer, dengan mengacu pada komik, novel berseri, serial televisi, atau film layar lebar dengan tokoh sentral sebagai franchise (contohnya: superhero Marvel, Fast & Furious, dan Rambo). Brand kita adalah tokoh sentral yang bisa terus 'hidup' dengan berbagai episode yang tetap menonjolkan karakter dan figur mereka. Pola cerita yang mencapai puncak di setiap episode juga menjadi keberhasilan cerita yang dibangun, sekaligus sebagai penguat brand.

Memulai usaha baru tidak hanya harus menyusun rencana bisnis yang sifatnya mekanistis, seperti: hitungan potensi pasar, penetapan produk, penentuan harga, persiapan kegiatan operasional, rekrut karyawan, dan membuat proyeksi keuangan. Pemilik brand mesti keluar dari keterbatasan menjalankan hal-hal yang mendasar tersebut. Mengisahkan brand kepada target pasar adalah cara yang perlu dikembangkan untuk membentuk keterikatan emosional. Kemampuan berkreasi sangat diperlukan dalam menceritakan brand.

コメント


bottom of page