top of page

BOSS SELALU BENAR

  • Writer: Chico Hindarto
    Chico Hindarto
  • May 29, 2020
  • 4 min read

Anekdot yang topik adalah:


Peraturan #1

Boss selalu benar

Peraturan #2

Ketika boss salah, baca peraturan #1


Foklor merupakan bentuk naratif oral yang merupakan refleksi atas identitas kebudayaan dan pengetahuan tacit, dimana terdapat refleksi mengenai pengelolaan keragaman sosial, kompleksitas dan termasuk di dalam kelompok (Rayner, 2008). Identitas kebudayaan anak buah sebagai suatu kelompok sangat ketara pada anekdot tersebut, sebagai pihak yang selalu salah. Di samping itu, posisi ini secara tacit dipahami dan dimaklumi secara seragam oleh anak buah sebagai suatu yang wajar. Keragaman sosial antara pimpinan dan anak buah tercerminkan pada anekdot tersebut. Selain itu, juga tercermin superioritas pimpinan sebagai pihak yang selalu benar atau tidak pernah salah. Kompleksitas hubungan antara kedua belah pihak disederhanakan dengan peraturan ini, tidak ada perdebatan lebih lanjut mengenai benar salahnya boss. Mereka yang berada pada posisi anak buah merasakan inklusifitas di dalam kelompok tersebut dan bernasib sama.

Foklor yang berbentuk cerita membuka jendela-jendela yang bernilai untuk memasuki kehidupan organisasional yang emosional, politis, dan simbolis; serta memanusiakan organisasi tersebut (Gabriel 2000, pada Smith dkk 2014). Rayner (2008) mengidentifikasikan pembelajaran yang terkait dengan foklor menjadi tiga bagian. Pertama, foklor memiliki bentuk yang bermacam-macam dan sangat nyata pada kehidupan sehari-hari. Akibat yang terjadi merupakan konsekuensi bagi yang melanggarnya. Anak buah yang tidak peduli dengan peraturan di anekdot, yaitu dengan menyalahkan boss, akan menanggung akibatnya. Kedua, hal yang dikelola oleh foklor adalah rasa percaya (trust). Anak buah secara sadar mempercayai bahwa kedua peraturan tersebut adalah benar dan tidak terbantahkan. Pembelajaran ketiga adalah perlu keberhati-hatian yang sangat untuk mengubahnya. Diperlukan suatu perubahan radikal dan berulang-ulang secara konsisten untuk meniadakan suatu foklor. Untuk mengubah pemahaman atas makna anekdot di atas, diperlukan upaya yang keras dan terus menerus. Untuk kondisi seperti ini, perubahan tersebut logisnya merupakan inisitatif dari boss, bukan dari anak buah.

Makna yang termuat pada anekdot humor ini berlaku secara umum. Jika hal ini dianggap sebagai mite organisasional, Gabriel (1991) menyatakan bahwa maknanya tidaklah tranparan dan memuat ambiguitas, bahkan seringkali merefleksikan harapan yang kontradiktif dan membuka peluang untuk diinterpretasikan secara berbeda atau berkompetisi. Mite dievaluasi berdasarkan atas lima tipe kriteria: akurasi dan kesahihan muatan; utilitas; mewakili kepentingan; melekat pada norma-norma keilmuan; dan campuran motif-motif (Spich, 1995). Muatan anekdot ini dianggap berlaku secara general, meskipun terkesan berpihak kepada kepentingan anak buah yang merasa berada posisi yang lemah secara relatif terhadap boss. Utilitas suatu mite melayani tujuan-tujuan: melakukan sosialisasi generasi yang lebih muda, mengingatkan penyimpangan dari akar, menjaga disiplin dan komitmen, menghidupkan kelompok dan membedakan antar manusia (Spich, 1995). Utilitas anekdot ini memenuhi tujuan-tujuan ini, terutama dikarenakan hal ini dianggap sebagai mite yang tepat pada kegiatan sehari-hari di organisasi. Namun demikian, perlu diingat bahwa mite tidaklah penyampai kebenaran dan suatu tatanan nilai yang menjadi panduan bertindak (Spich, 1995).

Sebagai mite, anekdot humor soal hubungan antara boss dan anak buah secara tepat merepresentasikan berbagai kondisi di berbagai organisasi. Dengan demikian, kriteria perwakilan kepentingan terpenuhi sebagai isu yang menarik dan keragaman partisipasi. Jika ditelusuri muatan keilmuan, mite ini juga memenuhi kriteria untuk dibahas dari sisi perimbangan kekuasaan dan alokasi sumberdaya. Kekuasaan dan sumberdaya yang dimiliki oleh boss secara relatif lebih besar dibandingkan dengan anak buah. Mite ini juga dapat dikatakan sebagai campuran motif yang bisa ditinjau dari sisi akademis, yaitu teori organisasi, dan sisi aplikatif yang berlaku pada organisasi secara umum. Tugas keilmuan adalah berupaya untuk menguji legitimasi gagasan fokloris, dimana ketika hal itu terbukti sahih maka harus masuk ke bagian pengetahuan ilmiah (Armstrong, 1996).

Foklor sebagai bagian dari ilmu dimulai pada paruh kedua tahun 1970an, dimana mahasiswa perilaku organisasi mulai berkutat dalam hal kebudayaan dan simbolisme (Jones, 199), dimana judul esay mengenai foklor organisasi adalah seperti: cerita yang disampaikan manajer (Mitroff dan Kilmann, 1975), simbol di tempat kerja (Dandridge, 1976), struktur formal sebagai mitos dan seremoni (Meyer dan Rowan, 1977), kepemimpinan sebagai suatu “permainan bahasa” (Pondy, 1978), simbol, pola, dan setting (Peters, 1978), dan kebudayaan organisasi, mitos, dan cerita-cerita (Pettigrew, 1979; Westerlund dan Sjostrand, 1979; dan Wilkins, 1978). Kaitan antara konsep foklor dan organisasi, diharapkan meningkatkan pemahaman mengenai keduanya dan memberikan saran untuk menyempurnakan organisasi (Jones, 1991). Pemaknaan mitos organisasi tidaklah transparan dan tidaklah ambigu, seringkali mengekspresikan harapan yang ambivalen dan bertentangan, sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda atau berkompetisi (Gabriel, 1991).

Jika ditinjau dari teori humor, Stefanova (www.folklore.ee) menjelaskan tiga sisi yang ada pada humor, yaitu:

  • Karakter yang kita tanggapi.

  • Properti objek yang dijadikan humor.

  • Apa yang perlu ada pada suatu objek untuk dijadikan sebagai hal yang lucu.

Jika dikaitkan dengan anekdot yang menjadi pembahasan pada makalah ini, karakter yang ditanggapi adalah boss sebagai pimpinan di dalam suatu organisasi. Properti yang dijadikan humor adalah penyajian dalam bentuk peraturan yang harus dipatuhi oleh siapapun yang bukan boss. Sedangkan hal yang ada pada objek yang dianggap lucu tersebut adalah mengenai posisi boss yang selalu benar, kalaupun salah dia tetap benar.

Bentuk humor digunakan pada anekdot ini sebagai bentuk satir akan kekuasaan boss kepada anak buahnya. Kemasan humor bertujuan juga memperhalus penyampaian agar tidak menjadi sarkasme dan menjadi ‘pelarian’ dari tekanan pekerjaan sehari-hari.


Daftar pustaka:

1. Armstrong, J. S. (1996). The ombudsman: Management folklore and management science: On portfolio planning, escalation bias, and such, Interfaces, 26, 25-55.

2. Farrow, J. (2005). Workplace culture, folklore, and adaptation, Journal of Occupational Science, 12, 1, 4-8.

3. Gabriel, Y. (1991). Turning facts into stories and stories into facts: A hermeneutic exploration of organizational folklore, Human Relations, 44, 8, 857-875.

4. Jones, M. O. (1991). Why folklore and organization(s)? Western Folklore, 50, 1, 29-40.

5. Rayner, S. G. (2008). Complexity, diversity and management: Some reflections on folklore and learning leadership in education, Management in Education, 22(2), 40-46.

6. Smith, R., S. Pedersen, dan S. Burnett (2014). Towards an organizational folklore of policing: The storied nature of policing and the police use of storytelling, Folklore, 125, 218-237.

7. Spich, R. S. (1995). Globalization folklore: problems of myth and ideology in the discourse on globalization, Journal of Organizational Change Management, 8, 4, 6-29.

8. www.folklore.ee/folklore/vol50/stefanova.pdf. Humour theories and the archetype of the trickster in folklore: An analytical psychology point of view by Sefanova, A.

Comments


bottom of page