KISAH NAGA
- Chico Hindarto
- May 29, 2020
- 4 min read
Naga merupakan makhluk imajiner yang dikenal oleh bangsa Eropa dan Cina. Meskipun ada perbedaan bentuk antara naga Eropa dengan nada Cina, secara garis besar makhluk ini digambarkan memiliki kemiripan. Pada mitologi Eropa dan Cina, naga digambarkan sebagai monster yang dapat terbang, memiliki nafas api, dan menyerupai reptil.

Bentuk naga diduga mengadopsi dari kerangka binatang prasejarah seperti stegosaurus, yang panjangnya 30 kaki, tinggi 14 kaki, dan dilindungi oleh tameng dan duri. Buaya Nil berupa buaya yang bisa bergerak secara berdiri tegak juga diduga sebagai awal penggambaran naga. Buaya Nil diduga masuk ke Italia atau Yunani di benua Eropa, dari tempat asalnya di sub-Sahara, Afrika. Hal ini berbeda dengan yang disampaikan (Letcher, 2004), bahwa dongeng mengenai naga di benua Eropa berasal dari Skandinavia dan daerah Jerman. Bentuk naga juga dikenal sebagai foklor suku bangsa Aborigin di Australia, dengan mereferensi binatang guana yang bergigi dan bercakar tajam. Terdapat kesalahpahaman dengan kerangka ikan paus yang dianggap oleh manusia purba bukanlah binatang laut, tetapi predator. Hal ini tercermin dari bentuknya yang raksasa (Stromberg, 2012). Teori umum mengenai naga yang timbul dari temuan fossil ini disebut sebagai teori naturalistik oleh Letcher (2004).
Antropolog David E. Jones (Stromberg, 2012) berargumen kepercayaan akan makluk naga tersebar di kebudayaan kuno, karena evolusi yang terkait dengan ketakutan manusia atas predator yang sejatinya berada di dalam benak manusia. Rasa takut ini dikombinasikan dengan foklor, yang pada akhirnya menciptakan mitos naga. Berdasarkan argumen ini dapat dikatakan bahwa naga merupakan bentukkan imaji yang dibuat oleh manusia, yang sesungguhnya tidak ada. Ketakutan akan predator, diperkuat dengan citra naga yang dapat terbang dan bernafaskan api. Sejalan dengan pemahaman ini, Letcher (2004) menyampaikan tiga teori mengenai naga, yaitu sebagai mitologikal (sebagai simbol kekacauan, banjir yang merusak, atau kekuatan jahat yang menghalangi ke akses air pemberi kehidupan); religius (diidentifikasikan sebagai iblis pada ikonografi Kristiani); dan historikal (penggunaan citra naga pada emblem musuh).
Hal yang menarik adalah berbedanya pandangan terhadap naga pada bangsa Eropa dan bangsa Cina. Pada bangsa Eropa, sentral kisah mengenai naga adalah pahlawan yang membunuh naga (dragon slayer). Naga dianggap sebagai ancaman bagi umat manusia, maka dari itu harus dibunuh oleh pahlawan. Naga digambarkan sebagai makhluk yang agresif dan menyerang manusia. Pada tradisi Iberia, seringkali digambarkan pembunuhnya adalah seorang anak laki-laki tunggal (atau seorang anak laki-laki dengan satu orang saudara perempuan) yang membunuh dengan cara memenggal binatang melata yang berkepala banyak, dan dengan hadiah kemenangan berupa menikah dengan putri raja (da Silva, 2000). Dalam legenda Inggris, kemenangan St. Michael atas naga atau ular merupakan gambaran atas pengendalian atas kekuatan alami dan elemental. Cerita ini digunakan oleh pemeluk Kristiani pada awal penyebaran agama, sebagai representasi kekalahan agama lama dengan agama baru (Letcher, 2004). Pada abad pertengahan, naga dianggap sebagai perwujudan iblis, seperti pada cerita klasik Inggris mengenai Saint George si pembunuh naga.
Pada kebudayaan Cina, naga justru dianggap sebagai suatu simbol yang dipersepsikan positif. Naga adalah makhluk yang memiliki simbol kebaikan di Cina. Naga hadir di perayaan-perayaan, salah satu dari dua belas shio, sampai mewarnai sejarah para pemimpin Cina. Naga sebagai simbol digunakan oleh kaisar Cina sebagai representasi pengaruh dan kekuatan kerajaannya. Kekuatan ini diidentifikasikan sebagai ruh bumi dan ular mistis, penyedia kekuatan dan inspirasi, dimana peradaban kuno dipertahankan (Letcher, 2004). Intinya, naga memainkan peranan penting pada sejarah Cina. Makalah ini akan menekankan pada naga di kebudayaan Cina.
Naga dianggap memiliki unsur yang, sebagai pelengkap unsur yin yang dimiliki oleh burung api, makhluk imajiner kebudayaan Cina. Bangsa Cina mengindentitaskan diri sebagai keturunan naga, dikarenakan makhluk ini dibayangkan sebagai binatang melata yang merupakan evolusi nenek moyang energi chi. Naga dianggap sebagai simbol kekuatan yang ampuh dan bertuah. Naga umumnya dikaitkan dengan unsur air, seperti pada air terjun, hujan, dan banjir. Dalam hal ini, naga adalah pengendali unsur air.
Naga merupakan satu dari empat penjaga selestial, bersama dengan burung merah sebagai elemen api dan Selatan, harimau putih sebagai elemen emas dan Barat, dan kura-kura hitam sebagai elemen air dan Utara. Naga mewakilkan elemen kayu dan Timur. Selain itu, keempat penjaga selestial ini juga mewakili musim. Naga adalah musim semi, burung merah adalah musim panas, harimau putih adalah musim gugur, dan kura-kura hitam adalah musim dingin (chinahighlight.com).
Dikisahkan mengenai Yangdi, pimpinan suku legendaris, lahir lewat telepati ibunya dengan naga perkasa, yang membantu persekutuan dengan Huangdi (seorang pimpinan suku legendaris), untuk melawan Chi You (pimpinan suku barbar yang legendaris) dan mengalahkannya di pertempuran Zhuolu (saat ini lokasinya di Yuncheng di provinsi Shanxi). Ini adalah pembuka peradaban Cina. Oleh karena itu, Yangdi dan Huangdi dianggap sebagai nenek moyang bangsa Cina. Dengan berjalannya waktu, masyarakat Cina mengaitkan diri mereka sebagai keturunan Yangdi dan Huangdi, serta keturunan naga (chinahighlight.com).
Bermula pada Dinasti Han (206 SM - 220 M), kaisar menggunakan simbol naga, dengan tujuan mendapatkan keuntungan bagi lahan-lahan yang mereka miliki. Angka keberuntungan bagi bangsa Cina adalah 9, dan hal ini merupakan refleksi naga dalam hal sembilan binatang yang membentuk makhluk ini. Sisik naga semakin mengukuhkan signifikansi angka 9 sebagai angka keberuntungan. Dikatakan bahwa naga memiliki sisik yang memuat kedua unsur yin (81 sisik) dan yang (36 sisik). Kedua angka tersebut merupakan perkalian angka 9 (chinahighlight.com).
Terkait juga dengan angka 9 sebagai angka keberuntungan, menurut mitos Cina ada 9 anak naga yang imortal. Sembilan anak naga ini memiliki karakter yang berbeda-beda, dan citra imajiner mereka kerap digunakan sebagai dekorasi arsitektur, terutama di bangunan kerajaan. Sembilan anak naga tersebut adalah sebagai berikut (chinahighlight.com):
Bixi, anak naga tertua, memiliki bentuk kura-kura dengan gigi-gigi tajam, dan suka membawa objek-objek yang berat; kerap kali digambarkan pada sisi-sisi monumen kuburan.
Qiuiniu, naga bersisik kuning, menyukai musik dan ahli memainkannya; biasanya digunakan sebagai penghias instrumen musik.
Yazi, memiliki perut ular dan kepala macan tutul, minatnya bertempur dan membinasakan; sering kali digunakan sebagai dekorasi pada genggaman pedang.
Chaofeng memiliki naluri petualangan; digunakan untuk mempercantik tepian atap istana-istana.
Pulao terkenal dengan teriakannya yang lantang; sering digunakan pada handel atas lonceng.
Chiwen, hidup di laut, memiliki suara kasar dan gemar menyantap makhluk lain dengan lahap; kerap didirikan pada ujung-ujung istana.
Bi’an menyukai tuntutan hukum, akibatnya sering didirikan di pintu lembaga pemasyarakatan.
Suanni berbentuk naga, suka duduk dengan kaki bersilang, dan wangi; seringkali digambarkan pada pembakar dupa dan tempat-tempat duduk di kuil Buddha.
Pixiu adalah naga yang kejam dengan tubuh kuda yang anggun, bertugas untuk mengusir iblis untuk menjaga keamanan surga; sering digunakan untuk menjaga pintu gerbang.
Daftar pustaka:
1. da Silva, Francisco Vaz (2000). Cinderella the dragon slayer, Studia Mythologica Slavica III, 187-204.
2. Letcher, A. (2004). Raising the dragon: Folklore and the development of contemporary British Eco-Paganism, The Pomegranate, 6.2, 175-198.
3. Stromberg, J. (2012). Where did dragons come from?, http://www.smithsonianmag.com/science-nature/where-did-dragons-come-from-23969126/?no-ist.
4. http://www.chinahighlights.com/travelguide/article-chinese-dragons.htm
Comments